Sejarah Desa Melinggih

26 Mei 2022
Administrator
Dibaca 12 Kali
Sejarah Desa Melinggih

Berkat Waranugraha Ida Sang Hyang Widhi Wasa maka dapatlah saya menyusun sejarah asal mula Payangan ini khususnya Desa Melinggih, semoga saja “tan kakeneng sosodning sapa muang upadrawa“ atas kelancangan untuk menyebut nama beliau yang sudah Awur ring Acintya.

Ketika Bali ini masih merupakan pulau Dawa/pulau Panjang dimana keberadaannya jauh sebelum Rsi Markandya datang ke Bali, jadi saat itu di Bali masih merupakan pedukuhan dari para pertapa mungkin saat ini kita sebut sebagai Wong Bali Aga atau Bali Mula. Nah saat itu konon ada Rsi yang mempunyai pesraman di Munduk Uma Duwur sisi selatan (sekitar pura Penataran Ulapan) sekarang, beliau bernama Rsi Dharma Sadhu yang tinggal bersama istrinya yang berasal dari bukit Batukaru. Suatu hari saat Sang Rsi jalan keluar pesraman, saat itu bertepatan dengan Bulan Purnama sasih kecatur (purnama kapat) jadi seperti biasa Sang Rsi menuju tempat suci untuk membersihkan diri disebuah sumber air, bersamaan pada hari itu beliau melihat sosok wanita cantik yang kelihatan seperti bersinar di kajauhan yaitu di Munduk sebelah barat yang berbatasan dengan sungai dari tempat beliau berdiri. Ketika wanita itu berjalan ke utara, Sang Rsi tetap mengintai dan mengikuti dari seberang sungai,  rupanya wanita itu menuju tempat yang sama, yaitu mata air yang sampai saat ini tempat itu bernama “Taman Magenda” Sang Rsi tetap mengikuti wanita itu sambil mengikuti dari balik pepohonan, akhirnya terlintas dipikiran Sang Rsi Dharma Sadhu untuk menanyakan siapa wanita itu.

Beberapa saat setelah mau kembali wanita itu dari Taman Magenda (Mata Air Suci ) diambilah kesempatan itu oleh Sang Rsi untuk bisa bertanya pada wanita cantik itu, akhirnya merekapun berpapasan dan bertegur sapa. Setelah Sang Rsi bertanya wanita cantik itupun menyebutkan namanya, dari tutur katanya yang halus dan lembut beliau berkata yang namanya “Ida Ayu Mas Manik Merta Sari“ yang menyatakan dirinya masih gadis dan berasal dari sebuah tempat, yaitu “TEGAL APIT PANGKUNG“  (Tegalan yang dikelilingi saluran sungai ). Demikian pula Sang Rsipun menuturkan keberadaannya. Setelah agak lama perbincangan beliau berdua akhirnya mereka mulai akrab, saat mereka pulang dari Taman Magenda sebelum akhirnya berpisah belaiu sempat istirahat dan duduk-duduk dibawah pohon, tak jauh dari pesraman Rsi Dharma Sadhu. Semakin lama mereka menghabiskan waktu berdua hingga kedekatan beliau melebihi dari sekedar pertemuan persahabatan, Rsi Dharma Sadhu merasakan suatu yang lain saat menatap mata sang gadis. Rasa gundah dan hati yang berbunga-bunga tak dapat beliau bendung akhirnya keluarlah kata-kata halus nan lembut dari hati Sang Rsi yang mengungkapkan perasaannya kepada Ida Ayu Mas Manik Merta Sari, kata-kata rayuan yang halus bagai taburan sutra menerpa lubuk hati sang gadis, hingga akhirnya mereka menyatakan untuk saling mencintai, Sang Rsi pun berkata lagi, bahwa untuk mengenang tempat tersebut andai nanti terbentuk sebuah desa ataupun persawahan akan diberi nama “UJARING SUTRA“ yang artinya (Ujar = Kata/Raos,  Sutra = lembut) kata-kata lembut, hingga lama-kelamaan tempat itu terbentuk sebuah persawahan yaitu Carik Jaring Sutra sampai saat ini.

Perjalanan beliau berdua akhirnya kian hari semakin dekat saja dari rasa cinta yang tumbuh dihati beliau berdua seperti biasa tiap ada hari-hari tertentu seperti hari bulan penuh (Purnama) dan yang lainnya beliau menuju sumber air suci atau “Taman Magenda“.  Hal tersebut lama-lama akhirnya menjadi sebuah pertanyaan dihati istri dari Rsi Dharma Sadhu  yang selalu memperhatikan gelagat suaminya yang sering keluar pesraman dan pulang terlambat, rupanya seperti sebuah pepatah tak mungkin seseorang mampu menutupi asap. Istri Rsi Dharma Sadhu pun tahu apa yang terjadi atas suaminya, dimana Sang Rsi juga mencintai wanita lain selain dirinya, perang mulut pun terjadi kekesalan Sang Istri yang harus membuat Sang Rsi terpaksa mengalah dan mengaku bersalah. Keadaan pesramanpun kini kembali seperti hari-hari sebelumnya suasana tenang dan damai.

Hari-hari berjalan, keberadaan Sang Rsi yang tak lepas dari pengawasan sang istri membuat Sang Rsi  harus membatasi keluar pesraman. Dia banyak merenung dan tak banyak bicara, Rupanya rasa cinta dan diliputi rasa kangen pada Ida Ayu Mas Manik Merta Sari tak bisa beliau bendung, beliau sangat merindukan saat pertemuan beliau sebelumnya, hingga suatu hari bertepatan nemu bulan gelap (Tilem) Sang Rsi mengintai Ida Ayu Mas dari seberang sungai tak jauh disebelah barat pesraman. Niat Sang Rsi untuk melihat idamannya itupun terkabulkan, terlihat dikejauhan munduk sebelah barat sungai /munduk Gunung Sari, sosok wanita cantik sedang mengayunkan langkahnya dengan sebuah kendi dikepalanya, kulitnya tampak bersinar, itulah Ida Ayu Mas Manik Merta Sari yang sedang menuju “Taman Magenda“ langkahnya tampak ragu karena orang  yang biasa menemani ngobrol kini tak pernah ada kabar beritanya sejuta pertanyaan yang tersimpan dihatinya tak pernah tahu kapan dan siapa yang akan menjawabnya, hingga kadang timbul rasa kecewa yang mendalam, dengan berat hati beliau mencoba menoreh keseberang coba menatap Munduk Uma Duwur. Saat beliau melepas pandangannya ke sekitarnya lagi beliau tampak kaget menatap dengan seksama, terlihat dikejauhan ada seseorang seperti melambaikan tangan kearahnya. Akhirnya beliau mencoba untuk menatap lebih dekat lagi siapa orang itu sesungguhnya, sampai kedua akhirnya tampak jelas. Rasa gundah yang mereka pendam akhirnya sedikit terobati, senyum lebar menebar di wajah mereka berdua tak sepatah katanpun terucap dan akhirnya mereka saling melambaikan tangan. Setelah beberapa saat Ida Ayu Mas Manik Merta Sari kembali melanjutkan perjalanannya ke Taman Magenda. Rsi Dharma Sadhu hanya bisa melengok terbengong ditinggal idamannya, akhirnya beliaupun memutuskan untuk menunggu ditempat itu sampai Ida Ayu Mas kembali dari tempat air suci. Tiap kali baliau melihat hanya bisa bersalam dengan lambaian tangan. Demikian pula hari-hari berikutnya. Lama kelamaan tempat Rsi Dharma Sadhu berdiri itu ditinggalkan sebuah nama, andai terbentuk sebuah desa diberi nama “ULAPAN“ yang artinya lambaian tangan.

Menurut penuturan Jero Mangku Patri alamat Br. Melinggih Payangan, kepada penulis, bahwa sejarah/cerita ini didapat dari cerita secara turun – temurun pada jamannya punggawa, beliau sempat menemukan dalam sebuah tulisan dengan hurup Bali dengan ejaan lama yang memakai bahasa Sansekerta. Kalau dikaitkan dengan nama-nama tempat sampai saat ini semakin banyak pendukung sebagai nilai kebenarnnya. 

Kisah perjalanan Rsi Dharma Sadhu, setelah memberi nama Ulapan, perasaan rindunya kepada Ida Ayu Mas Manik Merta Sari semakin tak bisa dibendung, akhirnya beliau memutuskan untuk menemui sang kekasih, dengan segala kemungkinan terjadi atas keluarganya hingga akhirnya beliau meninggalkan pesraman untuk bertemu di Taman Magenda, Setelah mereka berdua bertemu saat mereka akan kembali mereka melalui Munduk Gunung Sari agar Sang Rsi tidak diketahui oleh istrinya, saat beliau istirahat disanalah Rsi Dharma Sadhu menyatakan bahwa dirinya tak ingin berpisah lagi, Sang Rsipun ingin menuju Tegal Apit Pangkung dimana tempat Ida Ayu Mas Manik Merta Sari tinggal, tapi Ida Ayu Mas tidak mengijinkan, dengan harapan sebelum Sang Rsi menikahinya. Akhirnya disanalah Sang Rsi menyatakan akan menikahi Ida Ayu Mas dengan menikah atau mejangkepan dan sebagai bukti untuk mengingatkan maka tempat dimana beliau berkata disebut “BR. MAJANGAN“ akhirnya mereka berdua menyepakati dan karena saat itu diberi nama “TAMAN SARI“ karena awal pertemuan beliau di Taman Magenda dengan Ida Ayu Mas Manik Merta Sari akhirnya nama digabung menjadi Taman Sari. Tetapi nama sebelumnyapun tidak ditinggalkan begitu saja pesramannya “Taman Sari “ tapi wilayah sekitarnya masih disebut Tegal Apit yaitu subak Tegallampit sekarang.

Hal tersebut juga tak lepas dari intaian istri dari Rsi Dharma Sadhu, hingga pernikahan/pejangkepan tersebut harus membuat beliau menjadi marah luar biasa. Apalagi setelah Rsi Dharma Sadhu kembali kepesraman Uma Duwur sang istri yang sudah dibakar api cemburu tak biasa diredam lagi. Akhirnya sang istri mengadakan semadi dengan merubah wujudnya menjadi seekor babi putih. Dengan taring yang siap mencabik siapapun yang menghalangi, bulu yang lebat dengan cakaran kuku-kukunya yang sangat mengerikan, dan mengeram yang hampir menggetarkan pesraman Uma Duwur. Saat itu Sang Rsi hanya bisa diam, tak bisa berbuat banyak, babi jelmaan itu “Angulon Angungsi Lwah“ yang artinya kearah barat menuju sungai, sambil menjerit dia akan memisahkan suaminya dengan wanita idamannya dengan merubah sungai menjadi sebuah danau sehingga munduk Uma Duwur dengan Munduk Gunung Sari bisa dipisahkan. Kecepatan yang sangat dahsyat dari babi jelmaan itu mulai membakar dipesisir sungai dengan berusaha menemukan sumber air, suasana menjadi gaduh memecah kesunyian saat itu sehingga membuat sangat kaget seorang dukuh yang sedang mancing ikan. Dukuh itu pun tidak ingin suasana mancingnya diganggu oleh keberadaan babi itu dengan membuat gaduh dengan membongkah dinding sungai, babi itupun dibentak oleh Sang Dukuh. Ketika itu babi putih jelmaan itu menjadi sangat garang, dia mulai memamerkan taringnya dengan mengeram menggetarkan sungai. Kemudian bertahan mendekati Sang Dukuh Pancing, matanya yang merah bersinar, bulu punggungnya mulai berdiri seakan sudah siap menerkam lawan, Sang Dukuh Pancing itu kelihatan agak gemetar dan sedikit melangkah mundur, melihat dukuh itu agak takut babi putih jelmaan itu malah semakin garang, Babi itu mengendap-ngendap dan seketika menyerang Sang Dukuh Pancing geramannya yang hebat membuat binatang lain harus lari mencari perlindungan. Memang tak pernah diperkirakan secara tak sengaja dukuh mengayunkan bambu pancingnya mengenai babi jelmaan itu. Sesuatu yang tak mungkin terjadi babi yang menyeramkan itu terjatuh dan menangis didepan Dukuh Pancing sambil memohon ampun. Rupanya bambu pancing (Pales Pancing) itu mempunyai kekuatan untuk menolak kekuatan magis. Dukuh Pancing tidak berhenti sampai disana dia tetap saja membentak dan mau memukul babi itu sampai akhirnya babi itu berkata. Dia menyatakan akan segera pindah tapi tolong untuk mengingat, bahwa tempat yang digali itu bernama Taman Batu Karu/Taman Bukit Batukaru. Karena beliau berasal dari Gunung Batu Karu (Tabanan). Dan mata air Batukaru itu masih tetap sampai sekarang. Keinginan dari istri Rsi Dharma Sadhu itu menemui kegagalan. Dia tidak berhasil memisahkan Rsi Dharma Sadhu dengan Ida Ayu Mas Manik Merta Sari akhirnya beliau menyatakan untuk kembali kekelahirnnya yaitu Bukit Batukaru. Karena kegagalan itu lantaran dibentak dengan bambu pancing sampai babi itu lari ke hilir sungai, dan apabila nantinya terbentuk sebuah dusun diberinama Br. Mancing (sekarang disebut Mancingan).

Kembalinya Istri Rsi Dharma Sadhu membuat pesraman Uma Duwur jadi sepi, masih terihat bekas serana pemusatan rasa bakti yang berupa Taulan (Arca-arca) Rsi Dharma Sadhu memutuskan untuk pindah menuju Pucak Adri. Sementara Ida Ayu Mas Manik Merta Sari yang tinggal di Taman Sari juga menelusuri Puncak Mangenu sampai akhirnya di (Pucak Mangenu Subak Twali sekarang). Dipucak Mangenu Ida Ayu Mas suka menanam buah-buahan. Salah satunya yang paling utama bernama jeruk linglang (Juwuk Linglang ) disanalah beliau mendirikan pesraman, sementara Rsi Dharma Sadhu pun sampai di Pucak Adri, beliau menanam bunga-bunga (Sarwa Sekar) Tujuannya untuk mengikat wanita cantik yang jadi idolanya. Ternyata Pucak Mangenu tak jauh dari Pucak Adri hanya dibatasi pangkung (Sungai tanpa air) keseharian dari Ida ayu Mas Manik Merta Sari seperti biasa menuju air Taman Magenda tapi lama-kelamaan beliau mempunyai sebuah keinginan untuk membuat air  yang ada di Taman Magenda tembus disebelah barat pesraman Pucak Mengenu hal itupun berhasil (Air Suci disebelah barat Pura Penataran Air Jeruk sekarang). Dan Pucak Adri adalah tempat masyarakat Payangan untuk melasti sampai saat ini. Pada jamannya pertapa/dukuh dimana orang-orang mendekatkan dirinya kepada Sang Pencipta adalah dengan membuat Taulan/Arca-arca yang sampai saat ini masih banyak ditemukan di pura-pura.

Pada saat ini pulau Bali masih disebut Pulau Dawa/Pulau Panjang, kemudian datanglan seorang Rsi dari tanah jawa menelusuri Pulau Dawa, yang konon kelihatan bersinar. Tiada lain beliau bernama Rsi Markandya. Perjalanan Rsi Markandya sampai kedua kalinya baru berhasil, dan untuk pertama kalinya menemui kegagalan. Terkadang ada orang mempertanyakan dimanakah kegagalan itu dari 800 orang pengikut hampir semua meninggal tapi jarang ada yang mengungkap dimanakah sesungguhnya tempat itu.

Menurut Penuturan Jero Mangku Patri yang beliau juga dapatkan dari penuturan penglingsir Puri pada jamannya punggawa. Bahwa perjalanan Rsi Markandya untuk pertamakalinya menelusuri pesisir Pulau Dawa dan memulai perjalanannya dengan menyusuri tukad Yeh Wos/Sungai Wos, setelah beliau merasa dipertengahan Pulau Dawa beliau mencoba mengadakan semadi pertama kali ada di Pura Pucak Gunung Lebah (Campuan Ubud) kemudian mengikuti sungai menuju hulu, beliau masih kebingungan dimana harus memulai kembali meminta petunjuk dengan beryoga di Pura Pucak Payogan dan melanjutkan perjalanan akhirnya sampai disuatu tempat disana beliau kembali memohon petunjuk untuk memulai memotong kayu, tempat itu ada di Pura Murwa Bumi banjar Pengaji sekarang. Karena beliau diikuti oleh 800 orang pengikut maka untuk mempertemukan/parum saat ada pembicaraan penting maka dibangunlah sebuah bale panjang /Bale Agung dengan tiang berjumlah 98 tiang dengan dibagi menjadi 48 blok 3 blok disucikan dan 45 blok dipakai tempat pertemuan. Disekitar bale tersebut banyak para pengikut mendirikan gubuk-gubuk kecil. Kemudian Rsi Markandya kembali melanjutkan kearah utara sampai batas utara yaitu Pura Alas Angker sekarang. Tetapi dalam perjalanan itu banyak pengikutnya mengalami jatuh sakit, bahkan tidak diketahui apa sebabnya, ada yang langsung meninggal hingga hari-hari semakin mencekam inilah yang membuat Ida Rsi Markandya menjadi bingung. Mulailah beliau mengumpulkan pengikutnya untuk diajak kembali tapi hanya beberapa yang beliau temukan akhirnya beliau menyusuri tempat-tempat pengikutnya memotong kayu. Beliau menemukan pengikutnya ditempat-tempat yang berbeda. Maka sesuai dengan keadaan pengikutnya saat itu dijadikan sebuah nama yang sampai saat ini menjadi nama Banjar seperti : Pilan, Seming, Penginyahan, Ponggang, Semaon dan lainnya. Karena Sakralnya tempat/hutan disekitar tempat itu maka diberi nama ALAS ANGKER yang artinya hutan yang sangat magis. Rsi Markandya memutuskan untuk kembali ke jawa karena tak kuat lagi melanjutkan perjalannnya. Setelah sampai di Pucak Adri beliau bertemu seorang wanita datang dari mata air suci akhirnya bertegur sapa dan diajak mampir ke pesraman Pucak Mangenu. Sampai dipucak Mangenu Ida Sang Rsi disuguhkan minuman air jeruk (Juwuk Linglang). Wanita itu adalah Ida Ayu Mas Manik Merta Sari. Atas suguhan itu seolah-olah memberikan suatu kekuatan kepada Rsi Markandya dan pengikutnya sehingga yang sakitpun jadi sembuh. Karena kekuatan itu muncul dari air jeruk maka pesraman itu dinamakan Penataran Air Jeruk.

Jadi setelah itu Rsi Markandya memutuskan untuk kembali, akhirnya menuju pegunungan Raung. Disanalah beliau mendapat petunjuk untuk memulai lagi perjalanannya di Pulau Dawa, dengan mendekatkan diri kepada Sang Hyang Giri Natha (Hyang berstana di Gunung Agung ). Dari Gunung Raung menuju Pulau Dawa dan mulai perjalanan dari Pucak Pulaki Singaraja (Pucak Melanting Sekarang).

Terus menyusuri tengah Pulau Dawa menuju Gunung Agung. Disana memulai lagi dengan diawali sesaji dengan unsur Panca Datunya. Setelah dari Gunung Agung kembali menuju arah barat akhirnya sampai didataran yang sangat subur (Alas Jimbar), apapun yang ditanam pengikut beliau hidup dengan subur, maka tempat itu disebut Jagat Sarwa Ada (serba ada) yaitu jagat Taro sekarang. Karena untuk kedua kalinya dapat wahyu di Gunung Raung maka di Taro dibangunlah Pura Gunung Raung. Kemudian dari Taro Ida Sang Rsi kembali ke Pucak Gunung Lebah, Pucak Payogan dan lagi ke utara menyusuri sungai Wos. Kembali mulai di Payangan ini berawal di Pura Senetan (Br.Bayad) dari sanalah lagi memulai memotong kayu untuk di Payangan, setelah mendekati bale panjang/Bale Agung ditemukan banyak gubuk-gubuk yang sudah kosong saat itu diberi nama Karang Suwung sampai sekarang. Dibale Agunglah Rsi Markandya memulai membagi kahyangan (Ngepah Kahyangan) di Desa Kahyangan/Parahyangan. Dari sini beliau menelusuri para pengikut beliau saat pertama di Pulau Dawa di Payangan ke utara, disekitar Alas Angker karena tidak ada lagi yang meninggal maka disebut Kerta/Desa Kerta. Itulah batas utara perjalanan beliau untuk di Payangan. Kalau disebelah barat sampai di Pura Suka Luwih di Dusun Selat Buahan. Dari Bale Agung Rsi Markandya tetap memusatkan pikiran menunju Gunung maka ada yang dijadikan pemusatan beliau untuk menatap puncak Gunung Agung dari Bale Agung yang disebut pusat Peganjingan yang sekarang disebut Puseh Branjingan di Banjar Ulapan Bukian. Dari tempat duduknya beliau itulah diberi nama  “MELINGGIH” yang berarti Duduk.

Dalam perjalanan beliau masih banyak pura-pura yang mungkin terlepas dari rangkuman kami sebagai penulis. Disamping juga pengikut beliau juga banyak dari golongan para Rsi yang sudah tentunya kemampuan spiritual beliau tak jauh berbeda dengan Rsi Markandya sehingga masih banyak pura-pura yang berdiri pada jamannya. Perlu di ketahui dalam penulisan sejarah ini sudah barang tentu ada ketimpangan, karena dalam hal ini rata- rata bersumber dari cerita-cerita secara turun temurun yang sampai saat ini belum ada yang membukukan.

Desa Melinggih adalah salah satu Desa yang terletak di Kecamatan Payangan, Kabupaten Daerah Tingkat II Gianyar, Propinsi Daerah Tingkat I Bali.

Secara Administratisi Desa Melinggih terdiri dari 5 Banjar Dinas , yaitu :

  • Banjar Dinas Melinggih
  • Banjar Dinas Payangandesa
  • Banjar Dinas Badung
  • Banjar Dinas Geria
  • Banjar Dinas Sema

Desa Melinggih terdiri dari 5 ( lima ) Desa Adat :

  1. Desa Pekraman Melinggih , terdiri dari 1 ( satu ) Banjar Adat Melinggih
  2. Desa Pekraman Payangandesa , terdiri dari 1 ( satu ) Banjar Adat Payangandesa
  3. Desa Pekraman Badung , terdiri dari 1 ( satu ) Banjar Adat Badung
  4. Desa Pekraman Geria , terdiri dari 1 ( satu ) Banjar Adat Geria
  5. Desa Pekraman Sema , terdiri dari 1 ( satu ) Banjar Adat Sema

Desa Melinggih berstatus Desa Swasembada sesuai dengan Pembangunan Desa seperti : Penghasilan Desa , mata pencaharian penduduk Desa , pendidikan , kelembagaan , gotong royong, adat istiadat dan sarana prasarana.

Mengingat kondisi alam yang sedemikian rupa serta potensi alam yang terbatas, maka Desa Melinggih pada dasarnya adalah agraris dimana sebagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai petani, sehingga mutlak diperlukan upaya dan usaha untuk mencari jalan keluar dalam menumbuh kembangkan perekonomian dimasa – masa yang akan datang. Namun demikian, dengan modal kerja keras dan keuletan dari seluruh warga masyarakat serta aparat pemerintahan desa baik Desa Dinas maupun Desa Adat, maka masyarakat Desa Melinggih masih optimis akan dapat meningkatkan kehidupan perekonomian dimasa – masa yang akan datang.